Perahu nelayan Cilincing, Jakarta Utara |
Seorang nelayan Kalibaru, Hamadi (44), tercemarnya perairan di sekitar Kelurahan Kalibaru hingga Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, sudah terjadi sejak awal Juni lalu dan membuat pendapatan 2.500 nelayan Kalibaru-Cilincing turun hingga 75 persen.
"Bahkan banyak nelayan yang enggak dapat apa-apa selama melaut," kata dia, Senin (30/6/2014).
Biasanya, lanjut dia, nelayan bisa meraup untung Rp 200.000 per hari. Namun karena pencemaran itu para nelayan hanya mendapatkan Rp 50.000 per hari.
Ia pun menuturkan sejak musim hujan berakhir, wilayah pesisir tersebut mulai menghitam airnya dan mengeluarkan bau tak sedap. "Biasanya air laut berwarna hijau tua. Sejak berubah jadi warna hitam, ratusan ikan jadi mati mengambang dan mengeluarkan bau bangkai," jelasnya.
Ia menduga pencemaran diduga berasal dari pipa pembuangan pabrik yang berada di sekitar Kali Kresek Lagoa, Kali Banjil Kanal Timur, Kali Cakung Drain, dan Kali Marunda.
Untuk menanggulangi hal tersebut, Suku Dinas
Peternakan, Perikanan dan Kelautan (P2K) Jakarta Utara telah melakukan
pengecekan serta mengirimkan sampel air laut yang tercemar untuk diperiksa ke
laboratorium.
Di sisi lain, agar lebih efektif lantaran
pencemaran air laut melibatkan dua instansi, Sudin P2K membentuk tim khusus
untuk meneliti pencemaran Laut Jakarta. Kedua intansi yang dilibatkan dalam tim
khusus adalah, Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLHD) DKI Jakarta dan Unit
Pelaksana Teknis (UPT) Kebersihan Pesisir.
"Selain membawa sampel air dari Kali Baru,
Marunda dan Cilincing, kami juga membentuk tim khusus agar penelitian
pencemaran air laut ini bisa maksimal," kata Sri Hayati, Kepala Sudin P2K
Jakarta Utara.
Menurut Sri, pembuktian atau pemeriksaan sumber
pencemaran Laut Jakarta diprediksi akan memakan waktu yang cukup lama.
"Tapi akan berupaya untuk menyelamatkan habitat laut dan nasib ribuan
nelayan," tukasnya.
Informasi yang dikumpulkan, sudah sejak lama Laut
Jakarta mulai tercemar limbah industri. Kini sebagian besar nelayan di lima sentra nelayan,
yakni di Kalibaru, Marunda, Cilincing, Kamalmuara, dan Muara Angke, memilih
menjaring ikan hingga ke tengah laut. Akibatnya biaya operasional nelayan mulai
melambung tinggi dan perolehan ikan tak sesuai harapan.
Sementara itu,imbas
ekosistem biota laut yang rusak, sebagian nelayan kini memilih mengganti mata
pencarian sebagai buruh serabutan ataupun menjadi petani musiman dibandingkan
dengan melaut yang tak bisa mencukupi kehidupan para nelayan sekarang ini.
Dijelaskan
lagi oleh Sri Haryati, bahwa saat ini pihaknya sudah berkoordinasi dengan Badan
Pengelola Lingkungan Hidup DKI Jakarta untuk memeriksa sumber pencemaran.
Pihaknya bersama BPLHD juga sudah mensurvei lokasi secara langsung dan mengambill sampel air di masing-masing wilayah.
"Kita akan berusaha secepat mungkin. Karena ketika bicara soal pencemaran lingkungan, pembuktiannya sangat sulit. Kalau sudah ketahuan siapa yang mencemari, kita akan fasilitasi untuk mendapatkan ganti rugi," ungkap Sri
Pihaknya bersama BPLHD juga sudah mensurvei lokasi secara langsung dan mengambill sampel air di masing-masing wilayah.
"Kita akan berusaha secepat mungkin. Karena ketika bicara soal pencemaran lingkungan, pembuktiannya sangat sulit. Kalau sudah ketahuan siapa yang mencemari, kita akan fasilitasi untuk mendapatkan ganti rugi," ungkap Sri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar